Tiongkok - Tionghoa

Posted : 7 April 2014

Faktanya, sejak awal Orde Baru, penyebutan kata Cina bukan lagi untuk identifikasi ras saja, tetapi cenderung ’’menyudutkan,” yakni untuk  ’’mencina-cinakan’’ mereka dalam konotasi yang semuanya jelek. Tionghoa berarti ’’orang dari ras Cina yang tinggal dan menjadi warga negara Indonesia”. Kata Tionghoa sudah sangat nyaman bagi suku Cina tanpa terasa ada nada, persepsi, dan stigma mencina-cinakan.

Presiden Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) secara resmi mengganti penyebutan negara China menjadi Tiongkok dan mengubah istilah keturunan Cina menjadi peranakan Tionghoa. Penggantian istilah tersebut dilakukan dengan mencabut Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera No. SE-06/Pred.Kab/6/1967 tanggal 28 Juni 1967 dengan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 yang diterbitkan 14 Maret 2014 lalu.

Keppres ini berangkat dari pemikiran bahwa sebutan China/ Cina memiliki makna derogatory (merendahkan, melecehkan, menghina). “Keppres ini menjadi salah satu elemen penting dalam penghapusan diskriminasi tersebut. Jadi sejak saat ini, jangan panggil lagi saudara-saudara kita itu China,” kata SBY melalui fanpage faceboknya, Minggu 23 Maret 2014. SBY juga menyebutkan sebutan China/ Cina adalah stereotype yang terkesan tidak tidak adil bagi kelompok etnis dimaksud yang lahir, besar, bekerja dan mengabdi di bumi Indonesia. Seperti dikutip dari lembaran negara yang diumumkan sekretariat kabinet pada Rabu (19 Maret 2014), dalam keputusannya Presiden SBY menilai pandangan dan perlakuan diskriminatif terhadap seorang, kelompok, komunitas, dan/atau ras tertentu melanggar nilai dan prinsip perlindungan hak asasi manusia.

Diskriminasi itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia, dan Undang-Undang tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Oleh karena itu, sehubungan pulihnya hubungan baik dan semakin eratnya hubungan bilateral dengan Tiongkok dan dalam pertimbangan keputusannya, SBY menyatakan ketika Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 ditetapkan, para perumus UUD tidak menggunakan sebutan Cina, melainkan menggunakan frasa peranakan Tionghoa bagi orang-orang bangsa lain yang dapat menjadi warga negara apabila kedudukan dan tempat tinggalnya di Indonesia, mengakui Indonesia sebagai tanah airnya, serta bersikap setia kepada negara Republik Indonesia.

Kata Tiongkok berasal dari kata Zhong Guo (中国), dibaca: ‘cung kuo’. Kata ini mengacu pada wilayah Manchuria, Mongolia Dalam, Xinjiang, Tibet dan Taiwan. Kata ‘Tionghoa’ (Zhong Hua) digunakan sebagai penanda sifat (modifier) bagi hal-hal yang berkenaan dengan Tiongkok. Bila dianalogikan dengan penyebutan internasional untuk kawasan ini, maka Tiongkok sepadan dengan China, dan Tionghoa sepadan dengan Chinese.

Dari mana kata China/ Cina berasal? Diduga bahasa-bahasa Eropa sebagai pelopor penggunaan kata Cina (China dalam bahasa Inggris, Chine dalam bahasa Prancis dam bunyi mirip itu dalam bahasa-bahasa Eropa lainnya). Kata China berasal dari Qin (dibaca ‘Cin’). Qin adalah dinasti asal Manchuria yang mempersatukan dan menguasai sebagian besar daratan Tiongkok dan berkuasa dari tahun 221 sampai dengan 206 Sebelum Masehi SM). Meski cuma berkuasa 15 tahun, bangsa Qin punya pengaruh besar dan bahkan bisa mengalahkan supremasi bangsa Han (mayoritas) dalam banyak yang memiliki warga jauh lebih banyak, dan dengan demikian istilah Zhung Guo di dunia luar lebih tergeser oleh istilah Cin yang kemudian menjadi China di Inggris, misalnya.

Sementara itu preferensi sebutan oleh bangsa-bangsa lain untuk bangsa Cina atau Tionghoa ini. Jepang, misalnya, menyebutnya sebagai Chūgoku, Korea menamainya Jungguk, dan Vietnam menyebutnya Trung Quốc. Kata Zhong Hwa dalam bahasa Jepang adalah Chūka, dalam bahasa Korea Junghwa, dan dalam bahasa Vietnam Trung Hoa. Orang Thailand menyebut Tiongkok/Cina sebagai Jiin, orang Laos menyebutnya Chin, dan orang Filipina menamainya Tsina. Dan orang Indonesia selama ini, sebelum adanya Keppres 12/2014 masih masih berputar-putar pada standar ganda ‘Cina/ Tiongkok/ Tionghoa’.

Karena itu, dengan berlakunya Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2014 itu, maka dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan istilah orang dari atau komunitas Tjina/ China/ Cina diubah menjadi orang dan /atau komunitas Tionghoa, dan untuk penyebutan negara People’s Republic of China  (Republik Rakyat China) diubah menjadi Republik Rakyat Tiongkok. “Keputusan Presiden ini berlaku mulai tanggal ditetapkan,” bunyi Keputusan Presiden yang ditetapkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 14 Maret 2014 itu.

Dengan berlakunya keppres tersebut, sejak tanggal 14 Maret 2014, dalam semua kegiatan penyelenggaraan pemerintahan, penggunaan istilah orang dari atau komunitas Tjina/ China/ Cina diubah menjadi orang dan/ atau komunitas Tionghoa. Dan untuk penyebutan negara Republik Rakyat China diubah menjadi Republik Rakyat Tiongkok.

Peluncuran Keppres sebagai produk hukum untuk standarisasi istilah di kalangan birokrasi rasanya tak sulit direalisasikan. Di kalangan birokrasi, mungkin mudah saja seorang atasan di sebuah kantor pemerintah menulis memo untuk staffnya: ‘Saudara akan saya tugaskan untuk studi lanjut di Cina, untuk itu Saudara terlebih dahulu harus ambil kursus kilat bahasa Cina’, menjadi berbunyi demikian kata studi lanjut di ’Cina’ berubah menjadi studi lanjut di  ’Tiongkok’ dan kursus bahasa ’Cina’ menjadi kursus bahasa ’Tionghoa.’ 

Kesulitannya adalah mengubah kebiasaan pengguna umum bahasa untuk bergeser dari satu istilah ke istilah lain untuk objek yang sama. Sulit melawan terlanjur lekatnya ‘language as it is in the community’ dengan satu kata yang dipaksakan melalui sebuah peraturan nasional, setidaknya akan ada proses panjang sebelum penutur bisa enak beralih dari ‘Tabib Cina’ menjadi ‘Tabib Tionghoa’, “Toko Obat Cina’ menjadi ‘Toko Obat Tionghoa’, atau menerjemahkan barang ‘Made in China’ menjadi ‘Buatan Tiongkok’.

Makin rumit lagi kalai pecinan-pun harus berubah menjadi pertionghoaan, dan telepon buatan Cina tak lagi ‘ada’ karena digantikan dengan telepon dan gadget Tiongkok. Dari kajian strata bahasa, penggunaan kata Tiongkok/ Tionghoa memang lebih terdengar ‘kromo madya’ katimbang Cina yang selama ini terlabeli sebagai sebutan yang derogatory. Penduduk Republik Rakyat Tiongkok sendiri lebih menyukai preferensi istilah Tiongkok/ Tionghoa. Demikian juga warga mayoritas Han di Tiongkok daratan lebih suka menyebut negara mereka sebagai Zhong Kuo dan Zhong Hua untuk hal-hal yang berkenaan dengan negara mereka. Mereka merasa tidak nyaman dengan sebutan ‘China’ atau ‘Chinese’ yang berbau ‘Qin’ yang merujuk pada dinasti dari Manchuria. Kondisi yang kurang lebih sama bagi warga Indonesia keturunan Tiongkok akan juga akan merasa lebih nyaman disebut sebagai keturunan Tionghoa. Kata Tiongkok/ Tionghoa punya kesan kebalikan dari derogatory, yakni complimentary, commendatory, dan laudatory (pujian). Secara garis besar, tidak ada orang Cina yang tak suka kalau dipanggil Tionghoa. Sebaliknya, banyak orang Tionghoa yang tidak senang jika dipanggil Cina.


Go Siang Chen
吴善程


comments :

Please Log In to Write Your Comment

0 komentar