Quanzhou dan Wushidahui
泉州与吴氏大会

Posted : 1 September 2016


Quanzhou sebagai sebuah daerah asal leluhur selalu menjadi sesuatu yang menggairahkan dan candu dalam hidupku. 

Kata-kata ini selalu muncul dalam benakku walau bagi banyak orang Tionghoa perantauan asal Quanzhou dan generasi setelahnya mungkin hanya sebatas sebuah nama desa kampung leluhur ...


Pertemuan Marga Go seDunia ( 吴氏大会 Wú shì dàhuì ) di Quanzhou ( 泉州 ), Provinsi Fujian ( 福建省 ), Tiongkok 21-23 November 2015 kemarin ternyata hanya sekedar menambah pengetahuan tentang menghadiri sebuah pertemuan penting berskala besar yang acaranya dipenuhi dengan makan besar – yang cenderung royal, khas orang Tionghoa – dan menonton atraksi di panggung. Paling banter juga sedikit pidato sekedar bukti eksis keberadaan saudara-saudara semarga di luar China Mainland. Wes, gitu tok! Setidaknya, itulah kesanku. Jujur! Oh ya, ada kirab dan foto bersama seluruh undangan yang cukup fantastis!

Mungkin ada pertemuan-pertemuan di belakang panggung … yang membahas rencana-rencana ke depan tentang keikutsertaan memberi kontribusi kepada masyarakat dunia, yang membahas tentang pengembangan hubungan guna mempererat persaudaraan di dunia, yang …… atau mungkin – seperti harapanku – tentang akan lebih digalinya situs-situs dalam upaya penelusuran sejarah sebuah kaum yang sudah punya andil sangat besar dalam membangun sebuah peradaban yang dikenal sebagai Budaya Wu 

( 吴文华 Wúwénhuá ), sehingga kami-kami yang telah tersebar di luar Tiongkok, yang tidak mudeng bahasa aslinya … juga bisa memahami sejarah dan jati diri ( walau mungkin bagi sebagian orang, mungkin … tidaklah penting ). Entahlah …

Quanzhou sebagai sebuah daerah asal leluhur selalu menjadi sesuatu yang menggairahkan dan candu dalam hidupku. Kata-kata ini selalu muncul dalam benakku walau bagi banyak orang Tionghoa perantauan asal Quanzhou dan generasi setelahnya mungkin hanya sebatas sebuah nama desa kampung leluhur …

“World Museum of Religion” itulah sebutan utk Quanzhou atau Coan Ciu ( dialek Hokian ). Salah satu dari empat pelabuhan terbesar di dunia pada jaman Dinasti Tang ( 唐 618-907 ), “The Biggest Oriental Port” di dunia selama Dinasti Song ( 宋 960-1279 ) dan Yuan ( 元1271-1368 ), the starting point of “Maritime Silk Road”, the first global World Multicultural Exhibition Center nominated by UNESCO … 

Orang-orang Arab menyebutnya dengan Zayton / Zaitun atau Zaytun ( 刺桐 cì tóng ) atau Olive ( pohon Kana / 橄榄树 gǎnlǎn shù ), lambang perdamaian berdasarkan bahasa Arab dan Persia. Sebuah pelabuhan terbesar di dunia yang menandingi Iskandariyah / Alexandria 

( 亚历山大 Yàlìshāndà) sebagai pelabuhan utama Mesir di jaman itu. Tempat legendaris bagi Pedagang Marcopolo ( 马可.波罗 Mǎ kě. Bō luó 1254-1324 ), Sang Penjelajah Dunia Ibnu Battuta ( 伊本.贝图塔 Yī běn. Bái tú tǎ 1304-1358 ) dan Laksamana Cheng Ho ( 郑和 Zhèng hé 1371-1433, mulai berlayar tahun 1405 ).

Maka, Quanzhou menjadi sebuah melting pot 

( 大熔炉dà rónglú ), tempat dimana para pedagang, diplomat, cendekiawan, pujangga, filsuf dan misionaris saling lebur-melebur diantara mereka juga penduduk setempat dengan harmonis. Bersatu dalam ikatan perkawinan maupun saling berbagi ilmu pengetahuan. Maka … tidaklah heran, bila di Quanzhou didapati begitu banyak situs dari berbagai religi. Dari Confucianism, Taoism, Buddhism, hingga Judaism, Nestorian, Hinduism dan Islam.

Setelah menyelesaikan semua kegiatan kebersamaan pasca acara resmi pertemuan sedunia, aku – sudah tentu – akan menggunakan sisa waktu di Quanzhou untuk menengok beberapa situs yang belum sempat aku kunjungi saat kedatangan yang lalu, meski sudah banyak juga yang sudah aku datangi.

Masjid Ashab ( 艾苏哈卜清真寺 Ài sū hā bo qīngzhēnsì )

yang disebut juga dengan ( 清净寺 Qīngjìng sì / Masjid Qing Jing ), berada di tengah kota. Merupakan salah satu dari sepuluh tempat suci bagi muslim yang dibangun pada tahun 1009 seluas 2500m2 berdasarkan tiruan dari arsitektur Syrian Damascus Chapel dengan menggunakan granit biru dan putih. Mempunyai 4 pintu lengkung besar ( 拱门gǒngmén ) yang lancip dengan 3 kompartemen, dimana di salah satunya terdapat 99 pintu lengkung kecil yang melambangkan 99 sebutan memuja Allah. Tiket seharga RMB 3 menjadi biaya masuknya.

Dari Masjid Ashab, destinasi berikutnya yang sudah aku rencanakan adalah The Islamic Saint Mausoleums 

( 伊斯兰教圣墓 Yīsīlán jiào shèng mù ) atau The Islamic Holy Tomb ( 灵山圣墓 Língshān shèng mù ). 

Laksamana Zhenghe dalam muhibahnya, pernah berangkat dari pelabuhan Quanzhou. Tetapi aku baru tahu bahwa Zhenghe sebelum berangkat, lebih dahulu berziarah ke mausoleum ini. Dan ada tablet prasasti peringatannya. Ibrahim, salah seorang pengurus Masjid Ashab, orang asli suku Hui memberitahu dalam ngobrol-ngobrolnya dengan kami, aku dan ayah. Maka, kami menjadi lebih semangat ingin mengunjunginya.

Cukup naik bis umum dari depan masjid, membayar ongkos RMB 3, menuju 2 pemberhentian yang merupakan pemberhentian terakhir: 圣墓 ( 站 ) Shèng mù ( zhàn ) … sampailah kami pada area makam di daerah Lingshan ( 灵山 Língshān ) di Gunung Qingyuan ( 清源 ). Lengang. Cuma kami yang berkunjung. Di depan ada loket untuk membayar tiket masuk seharga RMB 15. Dari sini nampak patung Konsinga ( 郑成功 ), sang pahlawan besar Taiwan di kejauhan.

Sebuah prasasti dari Dinasti Ming yang disimpan di sebuah masjid di Fuzhou menuliskan bahwa pada tahun 618-626, Rasulullah Nabi Mohammad SAW telah mengutus 4 orang muridnya ke Tiongkok. Satu ke Guangzhou, satu ke Yangzhou, dua ke Quanzhou. Dua orang suci ini: 沙仕谒 Shā shì yè dan 我高仕 Wǒ gāo shì wafat dan dimakamkan di bukit ini. Pemakaman ini disebut Lingshan karena setelah beliau-beliau ini dimakamkan, terjadilah keanehan. Di malam hari muncul sinar terang dari bukit area makam. Sejak itulah dinamakan Ling = Holy = suci ; Shan = gunung.

Sebelum memasuki area makam utama, sebuah prasasti ditempatkan di bawah area makam. Prasasti yang mencatat bahwa pada tahun 1417, Zhenghe saat muhibahnya yang ke 5 ( dimana akan mengunjungi Mekah ) telah terlebih dahulu berziarah, memohon restu dan perlindungan dengan berdoa di makam suci ini. Tercatat  tanggal 16 bulan 5 pada 15 tahun pemerintahan Kaisar Yongle, Dinasti Ming ( 30 Mei 1417 ).

Wisata religi hari ini berakhir sampai di sini. Esok kami akan berkunjung ke situs yang tak kalah menarik. Tidak lagi menyangkut religi tetapi menapak tilas sebuah real estate Jaman Dinasti Qing yang didirikan oleh seorang perantau Tiongkok yang mengadu nasib di Filipina. Bermarga 蔡 Cài atau Coa, dalam dialek Hokian. Salah satu dari marga yang merupakan derivative dari Marga Wu / Go.

Ancient House Group of Cai Clan ( 蔡氏古民居Càishì gǔ mínjū ) yang merupakan Minnan Village Cultural Landmark berada di selatan Desa 官桥 Guān qiáo kota 南安 Nán’ān, lumayan jauh dari hotel tempat kami dan rombongan tinggal. Kami harus berangkat pagi-pagi. Pagi di cuaca pada akhir musim gugur ini cukup membuat kami menggigil ketika angin bertiup, walau baju sudah berlapis. Bis umum dari halte depan hotel bisa mengantar kami hingga pemberhentian terakhir di 官桥专Guān qiáo zhuān. Kira-kira waktu tempuhnya 2 jam lah. Cukup dengan membayar ongkos RMB 4.50 per orang.  Tetapi sampai di sini masih harus naik taksi gelap supaya bisa sampai ke tujuan yang lokasinya memang ada di desa pinggiran kota. Ini satu-satunya transportasi. Tidak ada kendaraan umum resmi. 

Maka, mulailah kami muter-muter dan cari-cari. Sebetulnya tidak sedikit, tetapi sopir yang lulus seleksi sebagai orang yang kira-kira tidak bakal menipu, tentu saja sedikit sekali. Apalagi dengan situasi tempat pemberhentian yang sepi dan orang-orang yang tidak ramah. Ternyata cuma butuh tidak sampai 15 menit untuk menemukan kandidat yang kami butuhkan. Pemuda 30an yang kelihatan lumayan sopan dan tidak kasar. Tawar menawar mencapai kesepakatan RMB 50 untuk mengantar pulang pergi dengan jarak 8 km pp,  tanpa perlu membayar tiket masuk karena lewat pintu belakang. Bukan bermaksud menipu pemerintah RRT tetapi – menurut si Ngkoh ini – kalau lewat pintu depan, jalurnya terbatas sehingga yang dilihat juga terbatas. 

Jinjai lah …

蔡资深 Cài zīshēn namanya. Penduduk 南安 Nán’ān 13 bersaudara ini, pada usia 16 tahun berimigrasi ke Filipina. Singkat cerita berhasil menjadi orang termasyur bahkan sempat mengukir sejarah di negeri orang. Keberhasilannya dibawa pulang ke kampung halaman demi keluarganya. Dibangunlah perkampungan 

闽南 Mǐnnán (Hokian)  yang terdiri dari 16 kompleks perumahan dengan total 200 rumah untuk sanak saudara dan keturunannya. Bangunan berderet yang indah dengan corak batu warna orange yang seragam lengkap dengan halaman depan yang luas dan masih terawat dengan baik ini dibangun dari tahun 1865-1911. 

Perkampungan keluarga ini mempunyai trotoar-trotoar batu yang melindungi drainase di bawahnya, dinding pelindung api di setiap atap antar rumah, dan halaman besar untuk menjemur biji-bijian. Rumah-rumah dibangun dari batu dan kayu dengan atap-atap lancip khas Tiongkok. Dinding tiap rumah terbuat dari batu granit yang dipenuhi ukiran batu, ukiran kayu dan hiasan dekorasi porselen yang indah, juga kaligrafi dan lukisan. 

Karya Masterpiece ini merupakan karya seni arsitektur refleksi dari  Indian Buddhism, Islamism, Asia Tenggara dan seni dunia barat. Budaya setempat dan budaya luar dibaur sehingga menjadikannya sebuah karya arsitektur yang memiliki karakter khas yang unik. Sebuah karya hebat akan sebuah seni dan budaya yang menyatu dalam sebuah arsitektur perkampungan rakyat.

Hingga saat ini masih ada keluarga yang tinggal di rumah-rumah ini. Sayangnya kami tidak diperkenankan untuk masuk menengok keadaan di dalam. Yang pasti,  tampak bersih baik halaman maupun keadaan di dalam rumah. Kami hanya diperkenankan meninjau rumah utama yang dulu di tempati oleh Mr Cai dan keluarga intinya. Mengintip kamar tidurnya, duduk di ruang keluarga, keluar masuk beranda dan lorong koridor rumah besarnya. Saat ini  keturunan ke-5 nya lah yang mengurus warisan ini. 

Ayah puas, aku juga puas. Tidak sia-sia kami berburu situs ini. Pulanglah kami dengan sebelumnya mencicipi kuliner setempat. Si Ngkoh Taxi merangkap fotografer dadakan ini,  menolak diajak makan bersama. Kesopanan khas Tionghoa. Tidak juga menarik uang tambahan meski acara kuliner tidak ada dalam perjanjian. Tuan rumah yang baik!

Besok kami harus berangkat lagi pagi-pagi ke Xiamen supaya malam bisa kembali ke Quanzhou. Aku akan ajak ayah naik 动车 dòngchē, bullet train dengan kecepatan 200 km perjam ( ada lagi bullet train dengan kecepatan 300 km perjam, namanya 高铁 gāotiě ) menuju Xiamen. Quanzhou-Xiamen hanya butuh waktu tempuh 30 menit. Dari stasiun kami akan naik bus menuju distrik 

同安 Tóng’ān untuk meninjau 孔庙  Kǒngmiào  

( Confucian Temple ). Lalu menggunakan BRT ( bus yang beroperasi di jalur khusus jembatan layang dengan kecepatan 60 km per jam ) menuju 鼓浪屿 Gǔlàngyǔ.  Kalau masih ada waktu kami akan berbelanja di 中山路

Zhōngshān lù , pedestrian walk ( 步行街 bùxíngjiē ) 

di Xiamen. Asyik …!

吴慧梦


comments :

Please Log In to Write Your Comment

0 komentar