Beberapa minggu terakhir ini, kita dibombardir oleh berita di televisi, media cetak maupun media sosial tentang perlambatan ekonomi dunia yang terjadi pada negara-negara maju di dunia seperti Tiongkok & Jepang untuk kawasan Asia dan negara-negara lainnya, seperti Brasil dan Chili. Indonesia sebagai negara berkembang tak luput dari hantaman krisis tersebut ditandai dengan melemahnya kurs Rupiah terhadap Dolar Amerika, turunnya IHSG dan pemberitaan tentang PHK. Lalu, apa yang sebenarnya terjadi? Apa langkah-langkah yang ditempuh pemerintah serta bagaimana seharusnya sikap masyarakat untuk menghadapinya? Artikel ini akan mengungkap latar belakang perekonomian setiap negara sebelum pembahasan tentang Indonesia sendiri, dimulai dari:
Amerika Serikat, sebagai negara superpower memiliki andil besar dalam pertumbuhan ekonomi dunia. Pemerintah Amerika merilis data yang menyebut ekonomi pada kuartal II-2015 tumbuh 2,3 persen, terlebih pada bulan Juli lalu. Departemen Perdagangan AS mengatakan pertumbuhan ekonomi tersebut didorong oleh peningkatan belanja konsumen dan harga BBM yang lebih murah. Hal ini menciptakan 200 ribu lapangan pekerjaan baru dan tingkat pengangguran menurun menjadi 5,3 persen. Para analis kemudian meyakini bahwa pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal II-2015 akan membuat Federal Reserve (Bank Sentral Amerika Serikat) percaya diri dengan rencananya menaikkan suku bunga pada September. Seperti diketahui, Ekonomi AS menguat 0,6 persen dibandingkan kuartal I-2015. Namun pada kenyataanya, Bank Sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve) memutuskan untuk menahan suku bunga acuan (Fed Fund Rate) tetap di kisaran level 0 persen sampai 0,25 persen. Penahan suku bunga ini juga menyebabkan ketidakpastian arah ekonomi di banyak negara, termasuk Indonesia.
Untuk kawasan Asia, sebagai negara dengan ekonomi kuat, Tiongkok juga memiliki andil dalam perlambatan ekonomi global ini. Bank Sentral Tiongkok (PBoC) mendevaluasi mata uang Yuan sebesar hampir 2 persen terhadap mata uang Dolar Amerika Serikat. Kebijakan itu sebagai upaya Tiongkok untuk mendorong reformasi pasar, dalam konteks ekonomi sedang melambat. Menurut para analis, devaluasi Yuan akan mendongkrak ekspor Tiongkok yang mengalami penurunan tajam selama bulan Juli. Sejauh ini pihak berwenang memegang teguh kebijakan untuk menjaga mata uang agar tetap kuat guna mendorong permintaan dalam negeri dan mendorong perusahaan dalam negeri meminjam uang dan kemudian melakukan investasi di luar negeri. Namun, keputusan Tiongkok ini mungkin akan mempengaruhi bank sentral negara-negara lain, termasuk Amerika Serikat, untuk menaikkan suku bunga karena barang-barang lebih murah dari Tiongkok mungkin akan menekan inflasi.
Negara maju pada kawasan Eropa, juga menerima dampak dari perlambatan ekonomi ini, oleh karena itu Bank Sentral Eropa (ECB) memangkas target pertumbuhan ekonomi dan inflasi tahun ini dan dua tahun ke depan. Bank Sentral Eropa, mengharapkan inflasi di zona euro tetap rendah untuk mengantisipasi ancaman perlambatan pertumbuhan ekonomi. ECB mentargetkan pertumbuhan ekonomi di zona euro pada tahun ini sebesar 1,4 persen, turun dari target sebelumnya tumbuh 1,5 persen. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi pada 2016 diturunkan targetnya menjadi 1,6 persen, dari proyeksi sebelumnya tumbuh 1,9 persen. Ini merupakan risiko perlambatan ekonomi dan memburuknya inflasi telah terjadi sejak pertengahan Agustus. Kawasan Eropa sendiri mengalami pertumbuhan ekonomi kearah positif, seperti German yang tumbuh sebelumnya dari 0,1 ke 1,6 persen, disusul Inggris dari 1,7 ke 2.6 persen, dan Belanda yang sempat menyentuh -0,7 menjadi 0.9 persen. Diharapkan pemulihan ekonomi Eropa akan terus berlanjut.
Indonesia merupakan bagian perekonomian dunia juga mengalami dampak dari perlambatan ekonomi ini. Tahun 2015 ini pertumbuhan ekonomi Indonesia ditargetkan mencapai 5 persen, namun pada perkembangannya Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB) kembali mengoreksi pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2015 menjadi 4,9 persen dari semula sebesar 5 persen. Revisi pertumbuhan ekonomi ini karena adanya faktor eksternal dan internal. Jika membahas faktor eksternal, maka sudah jelas ini merupakan dampak dari kebijakan ekonomi yang diambil oleh negara-negara maju, seperti Amerika dan Tiongkok. Bagaimana dengan dengan faktor internal? Sementara faktor internal dipengaruhi oleh tertundanya sejumlah proyek infrastruktur pemerintah. Pasalnya, belanja infrastruktur saat ini baru teralisasi sekitar 10persen dari target sebesar 85 persen. Dari sisi ekspor, saat ini kondisi global masih sulit, sehingga ekspor tidak bisa di-cover dengan cepat.
ADB juga merevisi target pertumbuhan ekonomi Indonesia dari sebelumnya 6,0 persen menjadi 5,4 persen pada 2016. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diyakini bisa lebih baik pada 2016 dibanding tahun ini jika didukung investasi pemerintah dan berlanjutnya agenda reformasi pemerintah. Dalam publikasi tahunan Asian Development Outlook 2015 Update, ADB memperkirakan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2016 sebesar 5,4 persen. Angka ini turun dari perkiraan semula pada Maret lalu sebesar 6,0 persen, namun naik jika dibanding proyeksi tahun ini sebesar 4,9 persen.
Hal Positif Yang Mendukung Ekonomi Indonesia
Indonesia memiliki berbagai hal yang dapat mendukung perekonomian Indonesia. Sebagai contohnya, Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia yang melimpah dan bersifat dinamis karena banyaknya kegiatan dapat dilakukan untuk mengembangkan potensi sumber daya dari alam seperti halnya kegiatan meningkatkan potensi pertambangan hingga potensi kehutanan. Indonesia Economic Quarterly edisi Juli 2015 juga membahas tentang potensi energi geothermal (Energi panas bumi) Indonesia yang luar biasa dan pentingnya iklim kebijakan yang lebih kondusif agar energi tersebut dapat bermanfaat.
Yang berikutnya, selain menciptakan lapangan kerja, ekonomi kreatif juga memacu pertumbuhan ekonomi. Ekonomi kreatif bisa menjadi katalis industri baru, juga akselerator aktivitas ekonomi yang sudah ada. Artinya sangat jelas, pelaku, pekerja hingga konsumennya turut mendorong pertumbuhan ekonomi. Dengan beragam produk, mereka memberikan sentuhan inovasi kreasi dan teknologi sehingga mendongkrak nilai tambah.
Ditambah dengan, Masyarakat Indonesia dinilai masih memiliki keinginan daya beli cukup baik ketimbang negara lain seperti Korea Selatan dan Malaysia. Ini masih jadi peluang bagi pelaku usaha untuk tetap berjalan dan konsumsi masyarakat tak berhenti tetapi menggantinya dengan produk berbeda. Seperti contohnya saat ada pameran otomotif pada Agustus 2015 tercatat nilai transaksi Rp 5 triliun. Ini menunjukkan kalau daya beli masih cukup kuat.
Hal Yang Memberatkan Ekonomi Indonesia
Penyerapan anggaran infrastruktur pemerintah berpengaruh terhadapat kegiatan pertumbuhan ekonomi. Kenaikan anggaran infrastruktur signifikan sebesar 63 persen dari Rp 177,9 triliun menjadi Rp 290,3 triliun di APBN-P 2015 akan menaikkan belanja infrastruktur. Sayangnya, realisasi anggaran APBN-P 2015 untuk semester 2-2015 adalah realisasi pendapatan pemerintah 39,6 persen atau Rp 697,4 triliun dari target Rp 1.761,6 triliun.
Masalah birokrasi dan tidak adanya kepastian hukum adalah penghambat bagi investor untuk mengembangkan investasi di Indonesia. Birokrasi yang berbelit-belit dan ketidakpastian usaha membuat kalangan investor terpuruk sehingga peringkat daya saing Indonesia di peta global menurun. Birokrasi masih menjadi masalah, prinsip-prinsip dan nilai-nilai birokrasi dalam implementasi otonomi daerah masih terabaikan. Praktik korupsi merajalela, jabatan dimanfaatkan untuk kepentingan mengeruk keuntungan pribadi, keluarga, dan kelompok.
Tumpang tindih peraturan ini tersebar di pemerintah pusat dan daerah. Untuk level pemerintah pusat saja ada 1.600 peraturan yang harus dideregulasi atau ditata ulang agar sinergi untuk menopang roda ekonomi. Jumlah aturan tersebut mencakup aturan di bawah Undang-undang (UU), mencakup Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Menteri (Permen) dan lain-lain. Namun masih banyak aturan lain termasuk undang-undang (UU) yang harus direvisi, namun butuh waktu.
Paket Kebijakan / Program Pemerintahan Jokowi
Untuk mengatasi perlambatan ekonomi yang berdampak pada Indonesia, Presiden Jokowi meluncurkan Paket Kebijakan Ekonomi Jilid I. Pada paket ini berfokus pada 3 hal. Yang pertama, dorongan terhadap daya saing industri nasional melalui deregulasi (terdapat 89 peraturan dari 154 regulasi yang sifatnya menghambat daya saing industri akan dirombak), penegakan hukum dan kepastian usaha. Yang kedua, mempercepat proyek strategis nasional menghilangkan sumbatan, penyediaan ijin, penyelesaian tata ruang, dan percepatan barang jasa. Yang ketiga, meningkatkan investasi di sektor properti, dengan mendorong pembangunan rumah bagi masyarakat berpendapatan rendah serta membuka peluang investasi yang lebih besar di sektor properti.
Pasca merilis Paket Kebijakan tahap I awal September, Pemerintah kembali meluncurkan Paket Kebijakan Ekonomi Jilid II pada akhir September ini, yang berfokus pada layanan cepat untuk investasi, dimana akan dilakukan penyederhanaan izin investasi. Izin tersebut dibagi menjadi dua kelompok. Pertama mengenai izin di kawasan industri dan izin di luar kawasan industri. Sebagai contohnya izin untuk lingkungan di kawasan industri yang tadinya diminta tiap badan usaha, dengan paket kebijakan ekonomi jilid II ini badan usaha tidak perlu lagi meminta izin lingkungan karena sudah terwakili oleh syarat lingkungan di kawasan industri tersebut.
Lalu, bagaimana sikap kita menghadapi perekonomian saat ini?
Menurut pendiri Rumah Perubahan Rhenald Kasali ada beberapa cara dalam menyiasati perlambatan ekonomi ini. Beliau mengatakan, bagi produsen harus menyediakan produk penyanggahnya. Misalkan produsen mie memiliki produk A dengan segmen harganya lebih mahal maka konsumen dapat beralih ke produk harganya lebih murah.
Beliau juga mengingatkan para pemimpin perusahaan agar tidak patah semangat di tengah kondisi ekonomi lesu dan manajemen perusahaan juga tetap memotivasi karyawannya untuk terus maju. Selain memberikan semangat kepada karyawan, menegaskan manajemen perusahaan juga harus rela berkorban. Dalam hal ini memangkas biaya kenikmatan. Misalkan di perusahaan minyak. Kini harga minyak dunia di kisaran US$ 40 per barel dari posisi US$ 150 membuat biaya produksi lebih besar ketimbang harga jualnya.
Rhenald menilai ini juga dapat menjadi peluang untuk menemukan hal baru terutama bagi seseorang memiliki jiwa wiraswasta, menciptakan produk baru. Tak hanya itu, Rhenald juga menekankan kondisi sekarang juga dapat digunakan untuk menggerakkan ekonomi Indonesia. Apalagi Dolar Amerika Serikat (AS) terus perkasa tidak akan dibiarkan terus berlanjut, karena jika terus berlanjut orang Indonesia juga akan kesulitan membeli produk Amerika, yang artinya menjadi bumerang bagi Amerika.
Beliau juga menambahkan, kita juga harus melakukan perpindahan atau bergeser dalam rangka tetap melakukan kegiatan konsumsi. Sebagai contohnya, orang Malaysia tidak lagi mengambil barang bermerek terkenal karena harga yang lebih mahal, namun mereka mengambil produk lokal Indonesia dari Jogjakarta dengan kualitas yang tidak kalah bagus dengan tas bermerek. Kita sebagai orang Indonesia juga seharusnya melakukan hal tersebut, karena hal ini dapat memotivasi kita untuk terus maju dan masuk ke pasar global dunia.